

26 Juli 2024
Meremehkan Orang Lain Dalam Islam
Bagikan
Manusia itu tidak boleh sombong karena yang berhak sombong hanya Allah SWT, tidak ada yang lain. Cukuplah Iblis menjadi pelajaran bagi hamba-hamba Allah SWT akan bahayanya sifat sombong tersebut. Iblis tidak mau menaati perintah Allah SWT untuk bersujud kepada Nabi Adam AS karena sombong, meremehkan dan merasa lebih baik daripada Adam AS. Rasulullah SAW bersabda:
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ قالَ رَجُلٌ: إنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا ونَعْلُهُ حَسَنَةً، قالَ: إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ“Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan walau sebesar dzarrah di dalam hatinya.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, apakah itu kesombongan?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (HR Muslim 2749)
Dalam keadaan apapun, ajaran Islam yang luhur melarang seseorang berlaku sombong karena yang berhak memiliki sifat sombong hanya Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi:
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، مَنْ ينَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، أَلْقَيْتُهُ فِي جَهَنَّمَ“Sifat sombong adalah selendangku dan keagungan adalah busanaku. Barangsiapa yang merebut salah satunya dariku, maka akan Aku lemparkan dia ke neraka Jahanam.” (HR Ibnu Majah 4174) Menurut Az-Zarqani dalam Mukhtasharul Maqashid (736) hadits ini Shahih.
Seagung apapun kedudukan manusia, sekaya apapun hartanya, serupawan apapun wajahnya, sepanjang apapun gelarnya, bahkan sebanyak apapun amalnya, tidaklah patut ia lantas berbangga dengan apa yang dimiliki atau dicapainya. Semua itu tidak lain adalah pemberian Allah SWT berkat kehendak dan kuasa-Nya. Jika Dia tidak berkehendak, maka tidak akan terjadi. Teladan kita adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah pemimpin (sayyid) anak Adam, namun beliau tidak lantas berbangga-bangga dengan keunggulan tersebut. Dari Abu Said Al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:
أَنَا سَيَّدُ وَلَدِ آدَمَ وَلَا فَخْرَ“Aku adalah pemimpin anak Adam, dan bukannya sombong.” (HR Ibnu Majah 3496) Menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah hadits ini Shahih.
Ucapan di atas menunjukkan ketawadhu’an yang paripurna. Meski kedudukan beliau yang begitu tinggi di antara anak Adam, beliau tetap menunjukkan teladan sosok yang bersahaja di semua sisi kehidupan. Hal itu karena hanya Allah SWT lah yang kuasa mengaturnya, tidak ada celah bagi manusia untuk mengunggulkan siapapun kecuali yang telah ditetapkan dan dikabarkan oleh Allah SWT sendiri melalui lisan utusan-Nya.
Bagaimana agar bisa terhindar dari kecenderungan memandang rendah orang lain? Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah (1/60) memberikan wasiat berharga untuk kita bahwa semua orang yang memandang dirinya lebih baik dari salah satu ciptaan Allah SWT adalah orang yang sombong.
Beliau melanjutkan, selayaknya kita menyadari bahwa orang yang baik itu adalah mereka yang baik di sisi Allah SWT kelak di hari akhir. Tentunya, itu adalah perkara ghaib dan bergantung pada keadaan terakhir seseorang. Keyakinan bahwa diri sendiri lebih baik itu merupakan suatu kebodohan, oleh karenanya seseorang seharusnya tidak memandang kepada orang lain melainkan dengan pandangan bahwa orang itu lebih baik dari dirinya, lebih unggul dibanding dirinya.
Ketika memandang orang yang lebih muda, jangan ragu menggerakkan lisan hati untuk bermonolog bahwa orang itu belum sempat bermaksiat kepada Allah SWT, sedangkan aku telah banyak bermaksiat. Maka orang itu pasti lebih baik. Ketika memandang orang yang lebih tua, katakan pada diri bahwa orang itu telah banyak beribadah kepada Allah, maka pasti orang itu lebih baik.
Ketika memandang orang yang berilmu, maka katakan bahwa Allah SWT telah memberinya apa yang tidak diberikan kepadaku (ilmu) dan telah mencapai apa yang belum aku sampai. Dia telah mengerti sesuatu yang aku masih bodoh tentangnya, maka bagaimana aku bisa sama dengannya. Ketika memandang orang yang belum berilmu, maka katakan bahwa ia melakukan maksiat atas dasar kebodohan, sedangkan aku sadar bermaksiat dengan ilmuku, maka hujjah Allah SWT telah pasti atasku. Aku pun tidak tahu bagaimana akhir dari kehidupanku maupun kehidupannya.
Terakhir, ketika memandang orang kafir maka katakan bahwa aku tidak tahu, mungkin ia akan masuk Islam dan hidupnya berakhir dengan amal shalih dan dengan keislamannya maka dosa-dosanya akan terampuni. Sedangkan aku, -wal’iyadzu billah- bisa saja tersesat lalu jatuh ke dalam kekafiran dan mengakhiri hidup dengan amal buruk. Bisa jadi esok hari dia menjadi orang yang dekat dengan Allah SWT sedangkan aku termasuk orang yang jauh darinya.
Islam tidak memperbolehkan pemeluknya memandang rendah orang lain, sebab kemuliaan yang sejati hanyalah berdasarkan ketakwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Terdapat sebuah kata mutiara dari Jawa yang mengatakan, “Sejatine urip iku mung sawang sinawang. Mulo ojo mung nyawang opo sing kesawang!” Artinya, “Sebenarnya hidup itu hanya tentang memandang dan dipandang. Jadi jangan hanya memandang dari apa yang dapat dipandang saja.”
Wallahu A’lam
---
Ditulisa oleh :
Ustadz Iwan Setiawan, Lc., M.E.
(Biro Kepatuhan Syariah IZI)
Bagikan Artikel ini